Jumat, 08 November 2013



Hijab is my choice


Hai Nabi katakanlah kepada istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mu’min, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(Al – Ahzab 59)


Hijab dan Akhlak


Banyak muslimah ketika ditanya mengenai alasan mereka tidak mengenakan hijab/jilbab menjawab seperti ini “Saya belum siap” atau “akhlak saya belum cukup baik” atau alasan lain yang serupa. Padahal sesungguhnya hijab dan akhlak adalah dua perkara yang berbeda. Hijab merupakan penutup aurat bagi muslimah. Hukum untuk berhijab wajib bagi muslimah tanpa memandang akhlaknya baik atau buruk. Sedangkan akhlak adalah budi pekerti yang tergantung pada pribadi masing – masing.


Ada juga kasus seperti ini “Dia berjilbab namun kelakuannya buruk”. Hijab memang terkadang menjadi tolok ukur perilaku seseorang. Tapi, saat perilaku seseorang itu buruk maka kita tidak boleh menyalahkan hijabnya. Mungkin wanita itu belum memahami dengan baik tentang ajaran agama. Walaupun demikian, alangkah lebih baik jika kita berhijab dan memiliki akhlak yang baik.


Hal lain yang menghalangi muslimah untuk berhijab adalah kesulitan untuk mendapat pekerjaan. Memang ada beberapa pekerjaan yang belum mengizinkan wanita untuk berhijab atau ada juga pekerjaan yang meminta muslimah untuk melepas hijabnya. Nah, bagaimana jika seperti ini? Jawabannya Rezeki itu Allah yang mengatur. Bagaimana mungkin Allah akan menghambat rezeki bagi seseorang yang menjalankan perintahnya? Yakinlah ketika kita tidak mendapatkan perkerjaan akibat berhijab, maka perkerjaan itu memang tidak baik bagi kita. Dan temukanlah keajaiban bahwa ternyata diri muslimah yang berhijab ini banyak dihampiri oleh pekerjaan-pekerjaan yang penuh berkah dimana hijab dan dirinya sangat dihargai.


Motivasi Berhijab dan Hijabers


Saat ini muncul juga trend berhijab yang dikenal dengan hijabers. Tak dapat dipungkiri bahwa hijabers ini menjadi daya tarik tersendiri bagi muslimah di Indonesia.  Banyak di antara mereka memutuskan untuk mengenakan kerudung dan menutup aurat setelah bergabung dengan komunitas ini.  Keinginan mereka untuk menutup aurat namun tetap tampil cantik dan modis tersalurkan.

Sekalipun di sisi tersebut positif, ada beberapa hal yang perlu diluruskan dari pemahaman para hijabers ini terkait dengan gaya menutup aurat mereka.  Dari pemahaman dasar yang memotivasi mereka menutup aurat, standar yang mereka gunakan, tujuan dari menutup aurat, sampai pada hukum syara’ terkait dengan tata cara menutup aurat.


Karena itu, saat kita memutuskan untuk berhijab kita luruskan dulu bahwa niat kita berhijab adalah untuk mematuhi perintah Allah dan bukan karena ingin terlihat cantik dan modis atau sebagainya. Kemudian untuk cara kita memakai hijab hal yang perlu diperhatikan adalah hijab yang kita pakai haruslah menutup aurat kita ( menutup dada).


Pakailah hijabmu seraya tidak sekedar berniat untuk melakukan suatu hal yang wajib dari perintah Allah. Jangan kamu memakai hijab hanya untuk fashion belaka, atau memakai hijab untuk menutupi kejelekan sifatmu. Ikhlaslah memakai hijab untuk kebaikan dirimu, dan jadikan hijab sebagai kebutuhanmu, niscaya kelak kamu akan merasakan manfaat hijabmu.

- Departemen An-Nisa Nuansa -


PENTINGNYA MENJAGA LISAN


Banyak orang merasa bangga dengan kemampuan lisannya (lidah) yang begitu fasih berbicara. Bahkan tak sedikit orang yang belajar khusus agar memiliki kemampuan bicara yang bagus. Lisan memang karunia Allah yang demikian besar. Dan ia harus selalu disyukuri dengan sebenar-benarnya. Caranya adalah dengan menggunakan lisan untuk bicara yang baik atau diam. Bukan dengan mengumbar pembicaraan semau sendiri.

Orang yang banyak bicara bila tidak diimbangi dengan ilmu agama yang baik, akan banyak terjerumus ke dalam kesalahan. Karena itu Allah dan Rasul-Nya memerintahkan agar kita lebih banyak diam. Atau kalaupun harus berbicara maka dengan pembicaraan yang baik. 

Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar.” (Al-Ahzab: 70)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (HR. Al-Imam Al-Bukhari hadits no. 6089 dan Al-Imam Muslim hadits no. 46 dari Abu Hurairah)

Lisan (lidah) memang tak bertulang, sekali engkau gerakkan sulit untuk kembali pada posisi semula. Demikian berbahayanya lisan, hingga Allah dan Rasul-Nya mengingatkan kita agar berhati-hati dalam menggunakannya. Dua orang yang berteman penuh keakraban bisa dipisahkan dengan lisan. Seorang bapak dan anak yang saling menyayangi dan menghormati pun bisa dipisahkan karena lisan. Bahkan darah seorang muslim dan mukmin yang suci serta bertauhid dapat tertumpah karena lisan. Sungguh betapa besar bahaya lisan.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
Sesungguhnya seorang hamba berbicara dengan satu kalimat yang dibenci oleh Allah yang dia tidak merenungi (akibatnya), maka dia terjatuh dalam neraka Jahannam.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 6092)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
Sesungguhnya seorang hamba apabila berbicara dengan satu kalimat yang tidak benar (baik atau buruk), hal itu menggelincirkan dia ke dalam neraka yang lebih jauh antara timur dan barat.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 6091 dan Muslim no. 6988 dari Abu Hurairah Rad. )

Al-Imam An-Nawawi mengatakan: “Hadits ini (yakni hadits Abu Hurairah yang dikeluarkan oleh Al-Bukhari dan Muslim) teramat jelas menerangkan bahwa sepantasnya bagi seseorang untuk tidak berbicara kecuali dengan pembicaraaan yang baik, yaitu pembicaraan yang sudah jelas maslahatnya dan kapan saja dia ragu terhadap maslahatnya, janganlah dia berbicara.” (Al-Adzkar hal. 280, Riyadhus Shalihin no. 1011)

Al-Imam Asy-Syafi’i mengatakan: “Apabila dia ingin berbicara hendaklah berpikir dulu. Bila jelas maslahatnya maka berbicaralah, dan jika dia ragu maka janganlah dia berbicara hingga nampak maslahatnya.” (Al-Adzkar hal. 284)
- Departemen Syiar Nuansa -

 

PENTINGNYA BERSEDEKAH

Dari ‘Addi ibn Hatim dari Nabi saw bersabda: “Barang siapa yang dapat melindungi dirinya dari api neraka, hendaklah ia bersedekah sekalipun hanya dengan sebutir korma. Kalau itu pun tidak ada, maka dengan kata-kata yang baik. (HR. Ahmad)

Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad (Shahih Muslim, Jilid I, h. 406) ini menjelaskan akan pentingnya bersedekah kepada orang lain. Saking pentingnya sedekah itu dilakukan, Nabi Muhammad saw  menekankan bahwa jika sebutir korma pun kita tidak memilikinya, maka bersedakahlah dengan kata-kata yang baik.

Jika semua umat muslim mampu mengamalkan hadits di atas tentu problem kemiskinan dan pertikaian antar kelompok yang kerap terjadi di negeri ini dapat dieliminir. Betapa tidak, kemiskinan tak akan menjadi problem berat jika penduduk di negeri ini, khususnya umat Islam secara sadar dan ikhlas mampu menyisihkan hartanya untuk orang lain yang membutuhkan. Kaya dan miskin adalah fakta sosial yang tidak terhindarkan. Tetapi, sejauh mana kita mampu menjembatani jurang antara keduanya? Sedekah adalah salah satunya. Pun dalam anjuran Rasulullah saw dalam hal ini tak harus banyak dalam artian memberatkan sang empunya harta. Nabi bahkan mengatakan dengan sebutir korma pun bisa dilakukan. Ini menunjukkan betapa pentingnya sedekah itu dilakukan.

Paling tidak ada tiga hikmah yang dapat kita petik dari amal sedekah ini:

Pertama, dengan bersedekah berarti kita telah melaksanakan kewajiban atas harta yang kita miliki. Dengan sedekah pula kita turut meringankan beban yang dipikul oleh orang lain yang membutuhkan.

Di negeri ini banyak penduduk yang mengalami kelaparan hingga berbuntut busung lapar. Ini terjadi karena distribusi ekonomi yang tidak merata. Sedekah merupakan media pendistribusian ekonomi dalam Islam yang memungkinkan peredaran harta kekayaan itu mampu memenuhi kebutuhan masyarakat.

Kedua, dengan bersedekah berarti kita telah menjaga ukhuwah Islamiyah di antara umat Islam itu sendiri. Dengan bersedekah berarti jalinan tali kasih di antara umat Islam terjalin dengan nyata melalui amal yang nyata pula. Tidak hanya retorika, tetapi mewujud melalui pemberian sebagian harta yang kita miliki kepada orang lain.

Ketiga, bersedekah tak mesti dengan harta. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits di atas, jika kita tak mampu bersedekah dengan harta, dengan kata-kata yang baik pun merupakan sedekah.

Betapa mulianya ajaran ini. Kata-kata pun dapat kita jadikan sedekah yang bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain. Bagi diri sendiri akan terasa damai, tentram dan tenang jika kita senantiasa berkata dengan baik. Tidak menyindir orang lain, tidak melukai orang lain. Dengan begitu insya Allah kita tak akan pernah mempunyai musuh oleh karena kata-kata yang kita ucapkan.

Oleh karenanya hadits di atas hendak mengingatkan kita untuk senantiasa memperbaiki diri dengan bersedekah, meski hanya dengan kata-kata yang baik. 

- Departemen Ekonomi Syariah Nuansa -